Kamis, 02 Juli 2009

PENGORBANAN BUNDA

PENGORBANAN BUNDA

Pagi itu mentari bangun dari peraduannya. Memberikan warna terang di langit dan mengusir gelapnya malam. dikala semua orang tengah tertidur lelap, ada seorang wanita tua yang tak tertidur. berada di dapur, berkutat dengan kompornya yang tak mau nyala. terbatuk-batuk ia menyiapkan barang dagangannya. tak di sangka, saat seorang ibu separuh baya itu sibuk di dapur sendirian, anak perempuannya malah tertidur pulas di kamarnya. masih menikmati indahnya mimpi, masih ditemani empuknya bantal dan guling."Nak, bangun... bantu ibu di dapur..." kata ibu sambil terbatuk-batuk.Mendengar panggilan ibunya, anak itu langsung terbangun, namun bukannya malah membantu dia malah menghardik ibunya,
"Heh, ibu tua! kamu tau tidak aku kerja sampai larut malam, jadi jangan bangunkan aku sepagi ini!" kata anak itu seraya kembali lagi ke kamarnya."Dinda..." ibu setengah baya itu hanya membantin.Akhirnya, pagi sudah benar-benar datang menghampiri kota itu. Si anak yang bernama Dinda pun juga sudah terbangun dari tidurnya yang katanya telah terganggu oleh rengekan manja ibunya."Mau ke mana kamu nak? bukannya kamu hari ini libur...?" tanya ibunya yang tengah menjemur baju. 95% baju yang iya cuci adalah baju anaknya."Aku mau pergi ke mana bukan urusan mu tahu!" hardik anaknya sekali lagi."Tapi aku ibumu, Nak." kata ibunya mengejar si anak. "Aku berhak tau ke mana kamu pergi...""Kalau kamu sudah bisa membuat aku bahagia dan kita punya banyak uang, kamu baru aku anggap ibu!" hardik si anak lalau pergi.Ibunya jatuh lemas karena mendengar kata-kata anaknya yang telah melukainya.Ia merintih, bersimpuh kepada Allah memanjatkan doa kepadaNya, memohon ampunanNya, "Ya Allah, berikan petunjuk pada hamba-Mu ini ya Allah... aku tak tau lagi apa yang harus aku lakukan pada anak hamba... hamba telah gagal..." kata si ibu sambil meneteskan air mata.1 hari...2 hari...3 hari...4 hari...5 hari...6 hari...7 hari...sebulan...telah satu bulan lamanya Dinda tidak pulang ke rumah, ibunya telah mencarinya ke mana saja bisa, dengan bantuan Pak Rt ia terus mencari, keluar masuk kantor polisi untuk mencari anak satu-satunya yang ia sayangi.Setelah dua bulan lamanya, Dinda kembali ke rumahnya.
"Dinda, nak... kemana saja kamu? Ibu rindu kamu..." kata Ibunya."Sudah, lepaskan aku! aku nggak suka dipeluk kamu! jauh-jauh dari aku!" kata Dinda kasar seraya masuk ke kamarnya. ibunya mengikuti dari belakang."Kamu ke mana nak?" tanya ibunya dengan lembut."Apa peduli mu! sudah sana keluar!" kata Dinda kasar.Siang pun berganti malam, tiba-tiba di tengah malam yang tenang, ada suara ketukan dari pintu depan."Tok...Tok...Tok...!""Iya...iya..." jawab ibu yang masih mengenakan mukena, lalu ia membuka pintunya. "Iya?""Benar di sini rumah Dinda?" tanya orang yang berperawakan besar itu."Iya, benar..." kata ibu ragu-ragu."Dia punya hutang dengan kami, kalian harus membayar hutangnya malam ini juga, kalau tidak, terpaksa, Dinda harus di jual...!' kata orang itu sambil menyeringai."Dijual? jangan... jangan... kami yakin kami bisa melunasinya... berapa hutangnya?" tanya ibu, suaranya bergetar."1.500.000 rupiah! kalian bisa bayar?" kata orang itu."hm... kami yakin kami bisa bayar... " kata ibu, tatapannya mulai mengiba.
"Hahaha... sudahlah, aku yakin kau tak akan bisa bayar hutang anakmu! jika kau jual rumah ini saja tak akan bisa melunasi hutang mu!" kata orang itu."Ada apa sih ribut?" tanya Dinda dari dalam."Oh, ini dia si Putri Dinda...hahahaha" kata orang itu meledek."Siapa ini Dinda? kata nya kamu punya hutang?" tanya ibu."Iya, aku punya... aku memang harus pergi... kamu diem aja!" kata Dinda."Tidak, lebih baik ibu saja, ibu tidak mau merusak masa depan kamu. lagian, ibu juga masih bisa kerja." kata ibu berusaha untuk membela anaknya."Tidak, kamu nggak ada urusan dalam hal ini!" bentak Dinda."Ok... udah ada yang bisa berangkat?" tanya laki-laki itu."Baik," ibu pun mulai berjalan mengikuti laki-laki misterius itu."Aku sayang kamu, Nak... jaga dirimu baik-baik..." kata ibu untuk terakhir kali ya."Ibu, maafkan aku, aku telah bersalah, maafkan aku...""Aku telah memaafkan mu, sejak dulu nak..." kata ibu sambil tersenyum.Akhirnya, hanya sesal yang dirasa Dinda, namun, di dalam hati kecilnya, dia selalu bersyukur karena telah diberikan ibu semulia ibunya.

KAKEK TUA DI SERAMBI DEPAN

KAKEK TUA DISERAMBI DEPAN

Kulihat kakek tua itu sedang duduk di serambi depan rumahnya, mengawasi capung-capung yang berterbangan diantara rumput-rumput liar. Entah sudah berapa kali aku menjumpainya, kakek itu selalu mengumbar senyum ketika melihatku sepulang sekolah melintasi jalan kecil di depan rumahnya , wajahnya yang ramah membuat aku bisa membayangkan indah senyumnya kakek itu di masa mudanya. Rumah kakek itu terletak di antara puluhan tanah kavling yang berpenghuni rumput-rumput liar dan semak belukar serta capung-capung yang mengudara sepanjang pagi hingga sore.Kali ini kujumpai kakek itu dengan kemeja tidur berwarna cokelat muda dan sebuah rajutan syal bertengger di lehernya yang terlihat keriput. Tak seperti biasanya, hari ini kakek tua itu melambaikan tangannya kearahku. Bibirnya mengukir senyuman hangat. Dengan spontan, aku membalasnya. Kakek, aku semakin penasaran denganmu… Hujan kian deras, air hujan yang turun dengan derasnya itu menyakitkan. Sakit sekali bila sudah mengenai wajah, apalagi angin yang menggoyangkan pepohonan rindang yang tumbuh di pinggir jalan.
Hujan kali ini memaksa aku untuk segera berteduh. Ketika berada di persimpangan jalan, aku memutuskan untuk berteduh di depan rumah kakek yang tak jauh dari sini. Kukayuh sepedaku dengan cepat.Rumah kakek terlihat sepi, entahlah karena apa. Aku segera melepas jaket abu-abu yang telah basah karena guyuran air hujan. Kemana kakek tua itu? Sejak tadi tak kulihat dia keluar, biasanya setiap kali aku melewati depan rumahnya dia selalu ada ditemani koran dan kacamata tua miliknya.“Kenapa tak masuk, ketok saja pintunya!” suara berat seorang kakek mengagetkanku.“Oh, maaf, Kek. Bukan maksud saya mengusik ketenangan Kakek…”“Sudahlah, ayo masuk. Kakek punya dua cangkir teh hangat dan beberapa buah kue serabi di dalam,” segera kulangkahkan kakiku untuk segera masuk ke dalam rumah kakek. Kue serabi, dan teh? aku sudah bisa membayangkan rasanya yang nikmat sekali, nikmat jika dilahap di tengah hujan ynag tak kian mereda. Kulihat senyum itu mengembang ketika melihatku bersedia masuk ke rumahnya yang mungil, tapi begitu rapi dan bersih. Terpajang patung-patung dan porselen indah yang mengkilat. Kristal-kristal warna-warni yang tertata rapi di atas almari kac di ruang tamu. Rumah ini begitu menyejukkan meski tanpa AC.Kakek tua itu mempersilahkanku duduk. Beliau masuk ke dalam rumahnya, kemudian setelah beberapa lama aku menunggu, terlihat kakek tua itu membawa sebuah baki dari dapurnya. Aroma teh pegunungan itu merasuki lubang hidungku, apalagi harum serabi, oh sungguh nikmat bila disantap saat hujan begini. Perutku melilit, tak tahan juga rupanya. “Ayo minum tehnya, teh itu bisa membuat tubuhmu terasa hangat. Sekalian cicipi kue serabi buatan kakek!” senyumku segera mengembang ketika kakek menyodorkan secangkir teh dan sepiring kue serabi kehadapanku. Kuhirup dalam-dalam aromanya yang khas, dan seteguk teh melewati kerongkongan setelah secuil kue serabi masuk ke dalam perutku yang lapar. Cukup lama juga aku berbincang-bincang dengan kakek tentang keluargaku yang hampir selalu berada di luar kota, tentang tetangga-tetangga kompleks yang amat jarang sekali bertegur sapa dan menonjolkan individualismenya, tentang prestasiku di sekolah yang biasa-biasa saja. Sosok kakek tua itu adalah pendengar yang setia bagiku.
Hujan telah reda, cuaca kembali cerah. Aku segera berpamitan untuk pulang, tentu mbok Nah sudah menunggu di rumah. Semenjak kejadian di waktu hujan itu, aku sering mampir ke rumah kakek untuk sekedar mengusir sepi. Hubunganku dengan kakek semakin erat, kami seperti seorang cucu dan kakeknya yang senantiasa berbagi rasa. Tak segan-segan aku mencurahkan isi hatiku kepadanya.Ternyata di balik wajah kakek yang bersahaja lagi ramah, tersimpan sejuta kerinduan kepada cucu dan anak-anaknya yang berada sangat jauh darinya. Kakek bercerita tentang cucunya yang bernama Wisnu, Ranti, Aditya, Siska, dan Viko yang berada di luar negeri, tepatnya negeri Kincir Angin. Kakek juga bercerita tentang anak-anaknya, Wilda yang manja, Dani yang selalu bangga dengan eksperimen-eksperimen barunya, serta Anne yang gemar berpetualang. Semuanya membuat kakek rindu, tapi jarak yang amat jauh memisahkan hubungan yang amat sangat erat antara kakek dengan anak dan cucunya.
Kakek pernah bertempat di Belanda, tetapi sesaat setelah nenek meninggalkannya, kakek kembali ke Indonesia untuk menetap selama-lamanya di sini. Ketika anak dan cucunya memaksanya ikut serta ke Belanda, kakek menolak sehingga hubungan dengan anak cucunya renggang. Kata kakek, dulu anaknya pernah menyarankan agar kakek hidup di panti jompo kalau sudah tua, tapi kakek tidak ingin merepotkan orang lain. Sehingga kakek memilih hidup sendiri di rumah yang ditinggalkannya dulu.Aku berusaha membantu kakek untuk berjumpa lagi dengan anak cucunya. Alamat email yang pernah diberikan Anne masih disimpan dengan baik oleh kakek. Surat-surat kerinduan untuk anak cucunya yang tak pernah dikirimkan dengan cepat kuketik di computer pribadiku dan segera kukirimkan lewat email kepada Anne. “Kakek…” nafasku terengah-engah ketika sampai di rumah kakek. Pintu kayu itu segera terbuka lebar.
“Ada apa, Dion?” “Kakek, Anne membalas semua email yang aku kirimkan kepadanya,” kakek menatapku tajam seakan tak percaya. Dia lantas menarik lenganku untuk duduk di kursi serambi rumahnya. “Benar kek, kakek tak percaya? ini hasil cetakan suratnya.” aku menyodorkan selembar kertas yang segera dibaca oleh kakek.
Papa yang selalu kusayang, Kupikir papa telah melupakan kami semua di Belanda, tapi kami di sini selalu merindukan papa. Email ini mewakili rasa rindu yang telah lama terpendam, suatu ketika nanti kami akan berusaha mengunjungi papa di Indonesia. (Anne).
Kutatap wajah kakek yang menyiratkan kegembiraannya. Setetes air mata membasahi pelupuk matanya dan semakin lama semakin menganak sungai. Wajah itu tak pernah kulihat sebelumnya. Wajah yang amat sangat gembira, wajah yang tak bisa membendung rasa kerinduannya.Hari-hari pun berlalu, bahkan sudah berganti bulan. Seperti biasa aku menyusuri sepanjang jalan-jalan sempit yang menghubungkan sekolah dengan rumahku. Hari ini kulihat rumah kakek yang dari dulu terkesan sepi, menjadi ramai.
Kulihat tiga orang remaja sedang bercanda dengan kakek, mungkinkah itu Wisnu, Siska, dan Ranti yang pernah diceritakan oleh kakek? siapa orang-orang dan bocah kecil yang tengah mengerubuti kakek itu? ah kakek, aku tak bisa merasakan kebahagiaanmu.Kutatap wajah mereka semua, tiba-tiba mereka melambaikan tangannya kepadaku. Aku tiba-tiba sadar telah berjanji akan mengantarkan mbok Nah menjenguk keponakannnya di rumah sakit. “Mas Dion…cepat!!!”terbayang-bayang suara mbok Nah dari kejauhan, aduh mbok Nah, jangan marahi Dion…Selamat kakek, kerinduanmu terbayar sudah. Tapi nama kakek siapa? Selama ini aku memang tak pernah menanyakannya. Hari ini tiba-tiba aku ingin mengetahuinya.